Shalat Istikharah
SHALAT ISTIKHARAH
Oleh
Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan umatnya agar mereka memohon pengetahuan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala urusan yang mereka alami dalam kehidupan mereka, dan supaya mereka memohon kebaikan didalamnya. Yaitu, dengan mengajarkan kepada mereka shalat istikharah sebagai pengganti bagi apa yang biasa dilakukan pada masa jahiliyyah, berupa ramal-meramal, memohon kepada berhala dan melihat peruntungan.
Shalat ini adalah seperti yang disebutkan di dalam hadits berikut.
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita ; ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan istikharah kepada kami dalam (segala) urusan, sebagaimana beliau mengajari kami surat dari Al-Qur’an. Beliau bersabda.
إِذَ هَمَّ أَحَدُ كُمْ بِاْلأَمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيْضَةِ، ثُمَّ لْيَقُلْ : اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (ا َوْ قَالَ: عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ (أَوْ قَالَ: فِيْ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ) فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ قَالَ : وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan : (‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung, karena sesungguhnya Engkau berkuasa sedang aku tidak kuasa sama sekali, Engkau mengetahui sedang aku tidak, dan Engkau Mahamengetahui segala yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (kemudian menyebutkan langsung urusan yang dimaksud) lebih baik bagi diriku dalam agama, kehidupan, dan akhir urusanku” –atau mengucapkan : “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka tetapkanlah ia bagiku dan mudahkanlah ia untukku. Kemudian berikan berkah kepadaku dalam menjalankannya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akhir urusanku” –atau mengucapkan: “Baik dalam waktu dekat maupun yang akan datang-, maka jauhkanlah urusan itu dariku dan jauhkan aku darinya, serta tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapan tersebut), Beliau bersabda : “Hendaklah dia menyebutkan keperluannya” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [1].
Dapat saya katakan, di dalam hadits tersebut terdapat beberapa manfaat yang dapat dipetik, yaitu.
Pertama : Di dalam hadits ini, shalat istikharah disyariatkan. Dan di dalamnya juga, shalat istikharah terkesn wajib. [2]
Kedua ; Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa shalat istikharah itu disyariatkan dalam segala urusan, baik urusan itu besar maupun kecil, penting maupun tidak
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah itu disunnatkan dalam segala urusan, sebagaimana yang secara jelas disampaikan oleh nash hadits shahih ini’ [3]
Juga perlu saya katakan, bahwa mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan serta menunaikan semua yang disunatkan dan meninggalkan yang makruh tidak perlu shalat istikharah
Memang benar, shalat istikharah ini mencakup yang wajib dan yang sunnat yang harus dipilih serta hal-hal yang waktunya cukup luas. [4]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :”Shalat istikharah ini mencakup urusan-urusan besar maupun kecil. Berapa banyak masalah kecil menjadi sumber masalah besar?” [5]
Ketiga : Di dalamnya juga terdapat pengertian bahwa shalat istikharah itu dua rakaat di luar shalat wajib
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :”Yang tampak bahwa shalat istikharah ini dapat dikerjakan dengan dua rakaat shalat sunnat rawatib, tahiyatul masjid, dan shalat-shalat sunnat lainnya. [6]
Perlu saya katakan, maksudnya –wallahu a’lam- jika ada keinginan untuk melakukan suatu hal, maka hendaklah segera mengerjakan shalat istikharah ini. Dan menurut lahiriyah ungkapan Imam An-Nawawi rahimahullah, sama saja shalat itu diniati dengan niatkan istikharah maupun tidak. Dan itu juga yang tampak pada lahiriyah hadits.
Al-Iraqi mengemukakan : Jika keinginan melakukan sesuai itu muncul sebelum mengerjakan shalat sunnat rawatib atau yang semisalnya, lalu dia mengerjakan shalat dengan tidak berniat untuk beristikharah, kemudian setelah shalat muncul keinginan untuk memanjatkan do’a istikharah, maka secara lahir, hal tersebut sudah mencukupi. [7]
Keempat : Di dalamnya disebutkan : “Istikharah itu tidak bisa dilakukan pada saat ragu-ragu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.
إِذَا هَمَّ اَحَدُكُمْ بِاْللأَمْرِ
“Jika salah seorang di antara kalian mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu. Dan, karena semua do’a menunjukkan kepada hal tersebut”.
Dan jika seorang muslim merasa ragu dalam suatu hal, maka hendaklah dia memilih salah satu dari kedua hal tersebut dan memohon petunjuk dalam menentukan pilihan tersebut. dan setelah istikharah, dia biarkan semua berjalan apa adanya. Jika baik, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan padanya dan memberikan berkah kepadanya dalam hal tersebut. Dan jika tidak, mudah-mudahan Dia memalingkan dirinya dari hal tersebut serta memudahkan kepada yang lebih baik dengan seizin-Nya yang Mahasuci lagi Mahatinggi.
Kelima : Selain itu, di dalamnya juga terkandung pengertian, tidak ada penetapan bacaan surat atau beberapa ayat tertentu pada kedua rakaat tersebut setelah bacaan Al-Fatihah. [8]
Keenam : Di dalamnya juga terkandung pengertian bahwa pemilihan itu terlihat dengan dimudahkannya urusan itu dan diberikannya berkah padanya. Dan jika tidak demikian, maka orang yang beristikharah itu akan dipalingkan darinya dan diberikan kemudahan padanya untuk memperoleh kebaikan dimana pun kabaikan itu berada.
Ketujuh : Selain itu, jika seorang muslim mengerjakan shalat istikharah, maka akan terlihat apa yang dia inginkan, baik dadanya lapang atau tidak. [9]
Az-Zamlakani mengatakan :”Jika seseorang mengerjakan shalat istikharah dua rakaat untuk suatu hal, maka hendaklah setelah itu dia melakukan apa yang tampak olehnya, baik hatinya merasa senang maupun tidak, karena padanya kebaikan itu berada sekalipun jiwanya tidak menyukainya”. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Di dalam hadits tersebut tidak ada syarat adanya kesenangan diri’ [10]
Kedelapan : Saat pemanjatan do’a istikarah itu berlangsung setelah salam. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُم بِالأّمْرِ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيْضَةِ، ثُمَّ لْيَقُلْ
“Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan ..”
Karena lahiriyahnya do’a itu dipanjatkan setelah mengerjakan shalat dua rakaat, yaitu setelah salam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa do’a istikharah itu dipanjatkan sebelum salam. [11]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat yang di antaranya adalah di dalam Kitaabut Tahajjud, bab Maa Jaa-a fi Tathawwu Matsna Matsna (no 1162). Dan lihat juga kitab Jaami’ul Ushuul (VI/250-251)
[2]. Nailul Authaar (III/88) dan juga kitab, Tuhfatudz Dzaakiriin (hal. 134)
[3]. Al-Adzkaar (III/355 –dengan syarah Ibnu Allan)
[4]. Fathul Baari (XI/184)
[5]. Idem
[6]. Al-Adzkaar (III/354 –dengan syarah Ibnu Allan)
[7]. Beliau nukil dalam kitab Nailul Authar (III/88). Namun, pendapat tersebut ditentang oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab, Fathul Bari (XI/185), di mana dia mengatakan, ‘Dapat dikatakan, jika dia berniat mengerjakan shalat tersebut dan shalat istikharah secara bersamaan, maka hal tersebut dibolehkan. Berbeda jika dia tidak berniat sebelumnya dan terpisah dari shalat tahiyatul masjid misalnya. Sebab, yang dimaksudkan dengan shalat istikharah di sini adalah pemanfaatan kesempatan untuk berdo’a. Dan yang dimaksud dengan shalat istikharah adalah dikerjakannya shalat yang disertai dengan bacaan do’a setelahnya atau pada saat shalat itu dikerjakan. Dan terlalu jauh untuk dipenuhi bagi orang yang mengajukan permintaan setelah shalat. Karena lahiriyah hadits tersebut, hendaknya shalat dan do’a itu dilakukan setelah adanya keinginan.
Dapat saya katakan, bahwa lahiriyah khabar ini tidak terdapat pensyaratan tentang penetapan dua rakaat. Yang jelas, kedua rakaat itu bukan shalat fardhu. Jika seorang muslim menginginkan sesuatu, lalu dia mengerjakan dua rakaat shalat rawatib Zhuhur misalnya, lalu setelahnya dia membaca do’a istilkharah, maka telah tercapai apa yang dikerjakannya itu, dan itu lahiriyah yang tampak, sebagaimana yang telah dikupas oleh Imam An-Nawawi dan Al-Iraqi terdahulu. Wallahu ‘alam.
[8]. Di dalam kitab Al-Adzkaar, (III/354 –dengan syarah Ibnu Allan), Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa di dalam kedua rakaat tersebut dibaca surat Al-Kaafiruun dan surat Al-Ikhlas.
Al-Iraqi mengatakan : “Saya tidak mendapatkan satu pun dari beberapa jalan hadits ini tentang penetapan bacaan dalam kedua rakaat shalat istikharah, tetapi apa yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi sudah tepat ..’ Syarh Al-Adzkaar, Ibnu Allan(III/345).
Dapat saya katakan, ketetapan tersebut tidak disebutkan pada pensyariatan dan penetapan. Wabillahit taufiq
[9]. Hal ini jelas berbeda dengan Imam An-Nawawi saat dia mengatakan :”Dan jika dia mengerjakan shalat istikharah, maka setelahnya, dadanya akan terbuka lebar untuknya”. Al-Adzkaar (III/355-356 –dengan syarah Ibnu Allan-). Dan dia telah bersandar pada hadits dhaif jiddan dalam hal tersebut. Fathul Baari (XI/187).
Dan Al-Izz bin Abdis Salam telah mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh An-Nawawi, bahwa orang yang beristikharah itu akan berjalan kepada apa yang dikehendaki, baik dirinya terbuka untuk itu atau tidak. Al-Iraqi menarjih fatwa tersebut dan menolak pendapat Imam An-Nawawi. Dan dia disetujui oleh Ibnu Hajar. Syarh Al-Adzkaar li Ibni Allan III/357.
[10]. Thabaqaat Asy-Syafi’iyyah, At-Taaj Ibnus Subki (IX/206)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2355-shalat-istikharah.html